Bukan Taliban, Bukan Erdogan, Tapi Hamas (2)

Faris Adl-Dlahir
Siapa yang lebih layak dijadikan contoh untuk dilakukan studi dan ditiru dalam eksperimen pemerintahan? Padahal kedunya belum pernah mengetahui contoh di luar wilayah mereka. Berbeda dengan Hamas yang terkenal dengan perlawanannya terhadap penjajah Israel. Bahkan kini ia memiliki pengalaman khusus dalam memerintah dalam situasi yang khas sekali dan berbeda dengan situasi di Afganisten yang diperintah Taliban pada saat penjajah asing sudah hengkang. Pada saat itu ia hanya terlibat dalam konflik internal. Sementara Turki sendiri adalah negara besar dan merdeka. Hamas sekarang ini memiliki eksperimen di pemerintahan secara khusus dan unik. Sebab ia berada dalam penjajahan dan pemerintahannya bukan aspirasi negara namun pemerintahan warga yang terblokade. Sementara Otoritas Palestina yang dipimpin Abbas dan Fayyad berada langsung di bawah penjajah Israel. Hamas adalah gerakan yang menjadi penguasa, dikuasai dan pada saat yang sama melakukan perlawanan terhadap penjajah. Ini contoh yang belum ada sebelumnya.

Jika Taliban membangun miliunya, jika Partai Keadilan dan Pembangunan membangun miliu politik dan social Turkinya, maka Hamas juga memilih jalur khusus dalam dakwah dan pemikiran serta jihadnya. Dalam hal ini Hamas menjadi contoh khusus dalam tanggungjawab kekuasaan, pemerintahan public rakyat yang sesuai dengan kondisi, realitas dan watak bangsanya serta nilai-nilai yang berlaku di sana. Apalagi Hamas juga memiliki visi dan misi dasarnya. Dari sini maka kita memiliki contoh lain; Hamas selain Taliban dan Erdogan. Namun hal ini tidak menghalangi Hamas mengambil pelajaran dari eksperimen lainnya bahkan merupakan keharusan. Sebab “hikmah adalah baranghilang seorang mukmin yang ditemukan”. Yang tidak kita terima adalah anggapan adanya kesamaan persis dengan dua contoh sebelumnya, atau anggapan bahwa Hamas mengkloning pengalaman mereka secara penuh.
Erdogan bukan pertama kali – di antara umat Islam – yang menganut gagasan menghargai kehendak, pilihan manusia dan hak-haknya, menerima pluralitas kepartaian, partisipasi politik dan peralihan kekuasaan secara damai. Bahkan ini sudah menjadi prinsip fiqih dan pemikiran serta sikap politik gerakan Islam beberapa tahun lalu di dunia Arab dan Islam sebelum Erdogan. Ketika Hamas menganut gagasan ini, bukan berarti ia adalah klon Palestina dari partai Keadilan dan Pembangunan Turki. Bahkan fleksibelitas Hamas yang didasarkan kepada maqasid syariah dan prinsip-prinsip politik Islam tidak berarti Hamas melewati prinsip dasar yang melatarbelakangi berdirinya gerakan ini. Alasannya, jika Hamas bukan Partai Keadilan dan Pembangunan bukan berarti seperti Taliban.
Dalam konteks ini, penting rasanya memaparkan sejumlah prinsip Hamas yang tidak mungkin dilanggar Hamas sehingga tidak memaksakan diri menyamakan Hamas dengan Erdogan:

1. Tidak dibenarkan sama sekali melakukan konsesi meski hanya sejengkal tanah Palestina dengan cara mengakui eksistensi Israel. Pendakatan politik untuk membebaskan blockade atau permusuhan Israel terhadap Hamas, tidak boleh mengorbankan prinsip ini. Termasuk pengalaman Pemilu dan pemerintahan hingga keputusan menguasai Jalur Gaza secara militer semuanya dilakukan dalam rangka kepentingan perlawanan. Tidak boleh sama sekali pengalaman memerintah kemudian membatalkan perlawanan sebab Hamas lahir dalam rangka menjaga hak perlawanan bangsa Palestina dan hak generasi mendatang di Palestina dan kewajiban mencabut eksistensi Israel dari Palestina.

2. Hak kembali pengungsi Palestina ke tanah air mereka adalah hak nasional dan bukan hak pribadi warga Palestina yang terusir. Hak ini bagian dari hak mengambil semua wilayah Palestina dan penolakan terhadap legaliatas penjajaha Israel. Adapun ganti yang diterima oleh pengungsi Palestina sebagai kompensasi atas tindakan pengusiran, kejahatan yang mereka terima selama bertahun-tahun, bukanlah pengganti hak kembali atau tanah yang dirampas Israel. Anggapan bahwa hak kembali pengungsi Palestina sebagai hak pribadi dan menerima ganti rugi dari pengusiran itu sama halnya dengan jual beli tanah. Itu sama halnya dengan menjual tanah di Tepi Barat untuk yahudi. Barangsiapa yang ingin kembali ke Palestina dan menerima ganti rugi sebagai harga tanahnya dari yahudi maka tanah itu tetap menjadi milik Palestina secara umum.

3. Tindakan dan sikap politik apapun, termasuk gencatan senjata, harus dilakukan dalam lingkup perlawanan melawan penjajah. Artinya, perlawanan tetap dilakukan dan tidak akan hilang. Selama ada penjajahan maka di situ ada perlawanan. Jika ada upaya politik ingin melucuti senjata perlawanan maka itu sudah melanggara prinsip gerakan Hamas.

4. Gerakan Hamas memiliki proyek Islam yang jelas dan terang. Meski Hamas tidak akan memaksakan proyek Islam itu kepada warga namun ia tidak akan berlepas dari identitas Islamnya. Dalam hal ini manusia tidak perlu takut. Ketakutan itu tidak berdasar dan hanya jadi alat politik dari sejumlah kelompok. Sebab bangsa Palestina adalah Muslim dan proyek Hamas paling sesuai dengan akar bangsa Palestina, warisan budayanya daripada proyek lainnya. Hamas tidak akan merampas hak pribadi. Ketika rakyat memilih Hamas sebagai wakilnya, mereka sudah paham bahwa ia beridentitas dan memiliki proyek Islam. Rakyat Palestina sudah paham Hamas sebagai gerakan dakwah sebelum sebagai gerakan jihad dan politik. Ini bukan berarti Hamas menjadi Taliban sebab Hamas tidak memaksa manusia untuk komitmen dengan proyeknya, visi fiqih dan pemikiran Hamas bersifat toleran, fleksibel, riil dan meyakini pluralitas.

5. Meski berproyek Islam namun bukan berarti Hamas berlepas diri nasionalisme dan kearabannya. Sebab tidak ada kontradiksi antara Islam sebagai akidah dan identitas dengan identitas nasionalisme atau kearabannya. (bn-bsyr)
SUMBER

Post a Comment

Previous Post Next Post